Hari
itu Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat
di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung
batu yang runtuh. Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang,
beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.
Dengan
bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk
ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut
dibangunkannya. “Suamiku tersayang,” Nasibah berkata, “aku mendengar
suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”
Said
yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan
ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan
mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah
menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Said
memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu,
tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang. Dengan
sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda
menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang
sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan
tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian
Said saja.
Di
rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru
berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan
ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang
pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah
pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia
tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu
menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku
sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang
Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”
Mata
amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak
dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku
untuk membela agama Allah.”
Putra
Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut
jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di
depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin
Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”
Hari
itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung sampai
sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari perkemahan
mereka meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di sana, perempuan yang tabah
itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan
kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka
suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?”
Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendegar
itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu,
jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad
adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”
Saad
yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah senyum
terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan
tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.
Di
arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda
berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang
kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah
menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan,
“Allahu akbar!”
Kembali
Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar berita
kematian itu, Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,” ujarnya,
“Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya masih
tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke
medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah
tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja menghadap
Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan
semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan
senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya perempuan
mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja obat-obatan dan
rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”
Mendengar
penjelasan Nabi demikian, Nasibah pun segera menenteng tas obat-obatan
dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur. Dirawatnya
mereka yang luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang
menunduk memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba
terciprat darah di rambutnya. Ia menegok. Kepala seorang tentara Islam
menggelinding terbabat senjata orang kafir.
Timbul
kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman ini. Apalagi waktu dilihatnya
Nabi terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah
musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri lagi. Ia bangkit dengan gagah
berani. Diambilnya pedang prajurit yang rubuh itu. Dinaiki kudanya.
Lantas bagai singa betina, ia mengamuk. Musuh banyak yang terbirit-birit
menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang. Hingga pada suatu
waktu seorang kafir mengendap dari belakang, dan membabat putus lengan
kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak kuda.
Peperangan
terus saja berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga Nasibah
teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud mengendari kudanya, mengawasi
kalau-kalau ada korban yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu
melihat seonggok tubuh bergerak-gerak dengan payah, segera mendekatinya.
Dipercikannya air ke muka tubuh itu. Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya,
“Istri Said-kah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nasibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa
Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah,
Nasibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke pertempuran.
Banyak musuh yang dijungkirbalikannya. Namun, karena tangannya sudah
buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus. Rubuhlah
perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.
Tiba-tiba
langit berubah hitam mendung. Padahal tadinya cerah terang benderang.
Pertempuran terhenti sejenak. Rasul kemudian berkata kepada para
sahabatnya, “Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah
bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun
menyambut kedatangan arwah Nasibah, wanita yang perkasa.”
credit to: Fatimah Syuhada El Ashraf (facebook.com)
No comments:
Post a Comment